a man and a woman running across a sandy beach

Sukacita Kembalinya Anak yang Hilang

Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." (Lukas 15: 11-32)

Pdt. Togu Sihite

9/12/20254 min read

Teks khotbah minggu ini begitu melekat di pikiran saya secara pribadi. Kenapa? Suatu ketika ada seorang anggota pemuda-pemudi gereja bertanya kepada saya tentang teks khotbah ini. Dia ber-argumen bahwa si bapa di dalam teks tidak adil. Menurutnya kenapa anak yang “bandel” itu justru disambut kedatangannya. Padahal si anak “bandel” telah menghamburkan uang bapanya. Pada posisi ini dia sependapat dengan si anak sulung pada teks. Pemuda tadi lantas menimpalkan, “jika begitu lebih baik menjadi anak yang bandel dong?” Tambahnya lagi, “bukankah yang tidak mengikuti aturan seharusnya dihukum?” Pertanyaan ini menggelitik dan menggugah pendapat para teman-temannya di perkumpulan pemuda-pemudi saat itu.

Gambaran di atas memperlihatkan bagaimana si anak sulung protes terhadap si bapa. Jangankan si anak sulung sedangkan anggota pemuda-pemudi gereja di atas juga merasakan hal yang sama. Mereka merasa itu bukan keadilan dengan menyambut si anak bungsu dengan pesta. Sabaliknya, mereka nampaknya lebih setuju jika si anak bungsu dihakimi dan dihukum atas perbuatannya. Akan tetapi, apa sih yang ingin disampaikan kepada kita lewat perumpamaan di dalam teks khotbah ini? Dari segi mana kita harus membaca teks ini? Juga mengapa anak bungsu itu tidak menerima penghukuman? Kita akan merenungkannya lewat khotbah ini.

Ada tiga poin yang penting untuk kita renungkan: Siapakah Tuhan yang diproklamsikan di dalam teks ini? Apa yang diminta bagi kita untuk kita lakukan dalam keseharian kita? Apa berita sukacita dari firman ini bagi kita?

1. Allah kita adalah Allah yang mengasihi mereka yang mengaku dan meninggalkan dosa serta berubah.

Satu poin penting dari khotbah ini adalah bahwa Allah itu kasih! (1 Yoh. 4:8). Dia tidak akan mengingat-ingat dosa-dosamu (lih. Yes. 43:25). Dia adalah Allah kita yang mengasihi kita lewat mengutus Yesus Kristus untuk menyelamatkan kita manusia (Bnd. Mat. 1:21; Luk. 19:10; Yoh. 3:17). Inilah Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus, yakni Allah yang mengasihi mereka yang berdosa dan datang meminta pengampunan kepada-Nya. Lewat perumpamaan anak yang hilang ini, Yesus hendak meperlihatkan bahwa walaupun kita berdosa, tetapi Bapa yang di sorga akan menyambut kita ketika kita pulang dan datang kepada-Nya memohon ampun dan mengakui dosa dan pelanggaran kita. Nah, bapa pada perumpamaan ini merujuk kepada Bapa yang di sorga. Dia yang mengasihi kita sekalipun kita sudah berdosa. Dia mengasihi kita yang berdosa bukan berarti dia mentolelir dosa kita. Akan tetapi mengasihi kita karena Dia adalah kasih, sedangkan dosa menyebabkan kita terpisah dengan Sang Bapa, sebab Dia adalah kudus (Bnd. Im. 19:2). Oleh karena itu, kita harus mengaku dan meninggalkan dosa kita (lih. poin 2).

Apakah anak bungsu tadi melakukan dosa? Ya! Pertama, merupakan sebuah dosa ketika seorang anak meminta harta warisan ketika orangtuanya masih hidup. Secara moral ini adalah sikap yang tidak tepat. Di dalam tradisi kita orang timur, ini seakan ingin mengharapkan orangtuanya untuk mati. Bahkan, pemahaman ini juga masih kita anut hingga saat ini. Oleh karena itu, tidak sedikit anak-anak yang telah dewasa tidak meminta warisan ketika orangtuanya masih hidup. Adapun kecenderungan adalah orangtua ketika masih hidup dan sudah ujur, akan berinisiatif untuk membagikan harta warisan dengan surat wasiat untuk mencegah terjadinya peperangan di antara anak-anak mereka. Kedua, si anak bungsu sendiri mengakuinya pada ay. 18 dengan berkata, “aku telah berdosa.” Ketiga, si anak sulung menunjukkan dosa si anak sulung kepada si bapa di ay. 30. Keempat, si bapa menggunakan analogi mati dan hilang yang berarti hidup di dalam dosa. Dengan kata lain, anak bungsu ini adalah gambaran untuk mereka yang hidup di dalam dosa, dengan melanggar firman dan titah Tuhan.

Salahkah respon si anak sulung dan anggota pemuda-pemudi gereja pada pendahuluan khotbah di atas? Tidak juga. Akan tetapi, si anak bungsu dan anggota pemuda-pemudi gereja tadi tidak mengenal siapa bapanya dengan baik. Jika serta merta apa yang kita lakukan langsung dibalas dengan penghukuman, maka semua kita manusia pastilah sudah binasa. Sebab Firman Tuhan bersabda upah dosa adalah maut (Rom. 6:23). Bayangkan jika setiap kali kita berdosa kita langsung dihukum, yakni dengan kematian. Sebaliknya, kesempatan untuk memohon ampun dan mengaku dosa, serta berubah selalu terbuka bagi kita manusia (Bnd. Yes. 55:7; 1 Yoh. 1:9). Inilah yang ingin disampaikan lewat khotbah ini, bahwa Tuhan Allah menantikan kepulangan kita dari dosa dan pelanggaran agar kita selamat. Tentu, si anak sulung tadi punya sikap yang baik di mana dia senantiasa mendengarkan dan melakukan perintah bapanya (lih. ay. 29). Jikalau pun kita meresa seperti si anak sulung, maka janganlah kita menyombongkannya. Sebab, Yesus Kristus sendiri datang bukan untuk memanggil orang benar tetapi orang berdosa (Luk. 5:32). Itu berarti kita juga harus bersukacita jika ada saudara atau teman kita yang bertobat dan kembali hidup di dalam firman Tuhan.

2. Mari mengaku dosa dan berubah!

Minggu ini, kita diajak untuk mengaku dosa dan berubah. Si anak bungsu dengan tegas mengaku kepada bapanya, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (ay. 21). Pengakuan dosa yang demikian haruslah disertai dengan perubahan hidup. Hidup sang anak jelas berubah setelah datang kepada bapanya. Dia disambut dengan pesta dan diberikan jubah terbaik. Dia tidak lagi ampas. Dia menjadi hidup kembali (ay. 32). Hidup di dalam firman Tuhan.

Sadarkah kita ketika kita mengikuti kebaktian gereja, khususnya gereja-gereja Lutheran di Indonesia, pada liturgi gereja kita melakukan pengakuan dosa lalu disambut dengan anugerah pengampunan dosa? Kemudian, kita membaca dan mendengarkan ayat epistle atau di gereja-gereja lain disebut bacaan pertama sebelum Evangellium atau ayat khotbah. Menerima firman (epistle) di sini berfungsi sebagai pedoman hidup baru kita sebagai orang yang telah menerima pengampunan dosa. Artinya, anugerah pengampunan itu sudah sepatutnya disertai dengan cara hidup yang baru. Singkatnya, berubah dengan hidup di dalam firman Tuhan. Berubah, secara sederhana di sini, berarti kita meninggalkan sikap dan perbuatan kita yang lama dan sebaliknya menjalankan firman Tuhan.

3. Allah menginginkan kembalinya orang-orang berdosa ke jalan-Nya.

Berita sukacita bagi kita adalah bahwa Bapa kita yang di sorga begitu menantikan kepulangan kita. Kepulangan dari tingkah perangai yang jahat di mata Tuhan. Kemudian kita hidup dan menjadi pelaku firman Tuhan. Menariknya, di dalam teks khotbah ini, Bapa di sorga diberitakan bahwa Dia bersukacita dan bergembira ketika kita kembali dan pulang, yang berarti kita hidup (lih. ay. 32). Tidak hanya itu, Bapa pada ay. 22-24 bersukacita dan mengadakan pesta untuk menyambut kepulangan sang anak yang hilang. Kenapa? Sebab anak yang hilang itu begitu berharga di hadapan-Nya. Demikian juga kita, kita ini berharga di hadapan Tuhan. Bapa kita yang di sorga menantikan dan bersukacita ketika kita meninggalkan dosa dan pelanggaran kita.

Siapapun kita, khotbah ini memberitakan berita sukacita, bahwa kita dikasihi oleh Bapa di sorga. Kita ini berharga di hadapan-Nya. Banyak dosa dan pelanggaran kita, yang terkadang membuat kita minder dan takut untuk datang kepada-Nya. Dengan firman ini, ingatlah bahwa Dia mengasihimu dan menantikanmu datang kepada-Nya. Bawalah dirimu, yang lemah, terluka, dan penuh dengan dosa itu kepada-Nya. Akuilah dosamu dan mintalah pengampunan, agar anugerah pengampunan dan hidup menjadi milikmu.

Tuhanlah yang memampukan kita melakukan firman-Nya. Tuhan memberkati!

TS

Original read here

Prayer Request